Pages

Putih dan Hitam

Kurasakan angin merasuki setiap lekuk tubuhku. Hari itu cerah, aku duduk di sebuah sudut bangku taman yang jauh dari hiruk piruk keramaian kota. Sungguh sepi...

“Ibu...burung apa itu yang berwarna putih?”. Seorang anak perempuan di sebelahku bertanya kepada Ibunya.

‘Itu burung merpati, Nak...” Jawab ibunya.

Kudengar mereka terus berbincang-bincang tentang merpati itu. Dari suaranya, aku bisa menebak anak perempuan itu kira-kira berusia antara 6 sampai 8 tahun. Hingga akhirnya, aku mengingat kembali peristiwa 7 tahun lalu. Tepat ketika aku berusia 10 tahun.

******

Pagi itu aku, Ibu, Ayah dan dua Kakak lelakiku duduk di ruang makan untuk sarapan. Waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi.

“Ayah, liburan kita kali ini ada rencana kemana nih?” tanya Kakak keduaku di sela-sela sarapan.

“Ayah sebenarnya ada rencana untuk berlibur ke vila teman ayah di Puncak. Tapi kan Ilham harus mempersiapkan diri untuk ujiannya. Jadi ayah masih mempertimbangkan hal itu, Can”. Jelas ayahku kepada Ka Ichsan. Kami sekeluarga memang biasa memanggilnya Ka Ican, walaupun awalnya ia keberatan. Namun akhirnya, dia menyerah juga mengajariku memanggil namanya ‘Ichsan’. Wajar, karena pada saat itu aku masih kecil dan cara bicaraku masih belum terlalu jelas.

“Ngga apa-apa kok, Yah. Kalau kalian mau liburan ya liburan aja. Kan Iam yang ujian, bukan kalian”. Tukas Ka Ilham santai dengan nada datar. Kakakku yang satu ini memang agak sedikit dingin. Sejak kecil Ka Iam –biasa aku dan keluarga memanggilnya- memang sangat senang menyendiri. Dia tidak menyukai keramaian, sekalipun ketika kami kedatangan banyak tamu di rumah. Ia lebih senang duduk di kamarnya, memainkan jemarinya di atas sebuah keyboard komputer.

“Tapi kan kita engga enak sama kamu, Am. Masa kamu lagi repot mau ujian, kita malah seneng-seneng”. Tandas ibu dengan bijak.

Aku hanya asyik dengan sarapanku pagi itu. Bagaimana tidak, ibu membuat nasi goreng kesukaanku. Aku mendengar percakapan mereka tentang liburan itu. Karena inilah satu-satunya kesempatan untuk kami berlibur, di sela-sela kesibukan pekerjaan Ayah dan Ibu. Mereka sering sekali keluar kota, sekalipun pada saat weekend. Kak Ican yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA memang memanfaatkan hari liburnya untuk bersenang-senang setelah ia berhasil meraih peringkat ke-2 juara umum di sekolahnya. Aku yang duduk di bangku kelas 5 SD juga ikut libur setelah melaksanakan UAS. Beda dengan Kak Iam, liburan kali ini dia tidak bisa membuang-buang waktu. Ia harus mempersiapkan diri untuk ujian kelulusan S-1 nya.

“Baiklah kalau itu mau kamu, Am. Tapi engga masalah kalau kamu sendiri disini sama Bi Imah dan Pak Tarjo?”. Tanya Ayah pada Kak Iam.

“Engga, Ayah tenang aja”. Jawab Kak Iam dingin.

“Baik. Malam ini kita siapkan barang-barang dan besok pagi kita berangkat ke Puncak”. Akhirnya ayah membuat keputusan untuk kami tetap berlibur.

******

Malam itu tidak biasanya, aku tidak bisa tidur. Aku turun dari ranjang tempat tidurku, berjalan menyusuri lorong dan pintu kamar. Aku melihat pintu kamar Kak Iam sedikit terbuka. Aku menghampiri dan mengintip ke dalamnya.

“Kak Iam kok belum bobo?”. Tanyaku ketika melihatnya masih duduk di depan sebuah komputer. Aku duduk di pinggir ranjang tempat tidurnya.

“Kakak belum ngantuk. Iran kenapa belum tidur?” Sambil mengampiri dan duduk di sebelahku.

“Iran ngga bisa tidur, Kak. Kak Iam beneran ngga akan ikut besok?”. Tanyaku lagi sambil menyandarkan kepalaku di pahanya.

“Iran kan tau, kakak ada ujian. Jadi, kakak ngga bisa ikut. Pokoknya Iran jaga diri disana ya, jangan nakal nakal”. Ujarnya. Aku hanya megangguk. Malam itu Kakak begitu ramah dan lembut, tidak seperti biasanya. Ia menceritakan banyak hal hingga aku terlelap di pangkuannya.

******

Pagi itu cerah. Aku, Ayah, Ibu dan Kak Ican telah bersiap untuk berlibur ke Puncak. Kami tidak sempat pamit kepada Kak Iam, karena ia masih terlelap tidur. “Mungkin karena semalam ia begadang” batinku.

Sepanjang perjalanan, kami bernyanyi dan bercanda. Sejam kemudian, mobil kami melaju cukup cepat, tepatnya di daerah Purwakarta. Hingga akhirnya mimpi buruk itu tiba, Truk dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan berjalan oleng. Ayah membanting stir ke kiri.

“Braakkkk!!!!”. Mobil kami menabrak ke tebing sebelah kiri.

******

Tanpa kusadari, air mata jatuh di pelupuk mataku.

“Andai aku bisa melihat Maha Karya Allah lagi,walaupun hanya dalam sekejap mataku” batinku.

Satu jam lagi, pernikahan Kak Iam -satu-satunya keluargaku yang masih hidup- akan segera dimulai. Tapi pena ditanganku masih terus menari-nari diatas sebuah kertas putih. Kaki, tangan dan hatiku masih selalu berjalan beriringan diantara berjuta-juta alasan untuk aku menyerah .Walaupun yang kulihat kini hanya hitam dan gelap. Ya...karena kini aku buta.

******


Oleh Azizah Fauziah



0 komentar:

Posting Komentar